Dunia Pendidikan dalam 10 November

Pendidikan dan pahlawan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari syarat kemerdekaan Indonesia. Dua pahlawan utama yang menajdi bagian dari dunia pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara dan Raden Ajeng Kartini. Melalui keduanya saya belajar bahwa bebas membutuhkan pengorbanan.

Sepuluh November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Dalam ranah ini, Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan dunia pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak? Hari kelahiran beliau pun dijadikan peringatan Hari Pendidikan Nasional, tepatnya pada tanggal 2 Mei. Bukan sembarangan hal ini terjadi, perjuangannya mejunjung pengetahuan di Indonesia sangat besar.

Seorang aktivis sekaligus wartawan dan jurnalis Pergerakan Nasional ini meyampaikan kritiknya mengenai pendidikan di Indonesia yang hanya boleh dinikmati para keturunan Belanda dan keluarga kerajaan saat itu. Hal ini menyebabkan pemerintah tersinggung hingga mengasingkan Ki Hajar Dewantara dan Tiga Serangkai ke negeri Belanda. Setelah mereka di asingkan ke Belanda dan bergabung dengan Indische Vereeniging yang merupakan organisasi pelajar Indonesia di Belanda. Akhirnya, pada tanggal 6 September 1919 Ki Hajar Dewantara dipulangkan ke Indonesia dan kemudian mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta.

Filosofi dari Ki Hajar yang terkenal di dunia pendidikan dengan bunyi, “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani” dengan arti “Di depan memberi teladan, Di tengah memberi bimbingan, Di belakang memberi dorongan”. Melalui filosofi ini, dunia pendidikan Indonesia berkembang lebih baik. Ki Hajar sebagai Bapak Pendidikan Indonesia berhasil membawa kebebasan dalam menimba ilmu hingga sekarang.

Ternyata, sebelumnya tak hanya rakyat biasa saja yang memiliki keterbatasan dalam dunia pendidikan. Seperti dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, surat kegelisahan seorang wanita mengenai salah satu hal di Indonesia, yaitu dunia pendidikan sekaligus surat cinta kebebasan pendidikan untuk kaum wanita yang membawa kita pada area pengetahuan dengan luar biasa hingga kini.

Ketika dulu wanita hanya dianggap sebagai, “Pupur, dapur, dan kasur”, Ibu Kartini mematahkan kalimat rendah itu dengan sekumpulan kata, “Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyang”.

Pejuang emansipasi wanita ini selalu membaca buku dan koran tentang bagaimana pemikiran wanita Eropa setelah ia diberhentikan sekolah. Hal ini menjadikan Kartini lebih bertekad untuk memajukan pemikiran wanita Indonesia kala itu. Kartini mulai menulis surat kepada Abendanon, kenalannya dari luar pribumi. Nantinya, surat-surat itulah yang akan dikumpulkan dan diterbitkan oleh pihak Belanda menjadi sebuah buku bertajuk, “Door Duisternis tot Licht” hingga kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka menjadi buku kumpulan surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”.

Ibu Nasionalisme ini akhirnya mampu mengubah pemikiran masyarakat Belanda terhadap wanita Indonesia. Selain itu, tulisannya menjadi inspirasi para tokoh Indonesia dan mengubah pandangan warga pribumi bahwa pendidikan itu penting, baik bagi pria maupun wanita. Berkat perjuangannya juga, kini wanita Indonesia mendapatkan kebebasan pendidikan dan memiliki kesetaraan hak dengan pria dalam hal otonom dan hukum, walaupun hal ini belum sepenuhnya terlaksana.

Pada peringatan Hari Pahlawan ini, kita patut berterima kasih kepada dua pahlawan dalam ranah pendidikan serta pahlawan-pahlawan hebat lainnya yang memberikan kita kebebasan dari penjajah luar bangsa Indonesia. Kita harus bersyukur, perantara mereka kita memperoleh kehidupan dan pendidikan yang layak hingga kini. Tak hanya do’a, mari bersama-sama kita buktikan bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia. Mengheningkan Cipta, mulai.